Senin, 10 Maret 2014 15:25 WIB
Warga Bojonegoro dan Tuban harus bisa menjadi penguasa industri Migas dengan profesional dan bukannya dengan meminta-minta. |
LENSAINDONESIA.COM: Bupati Bojonegoro dan Wakil Bupati Tuban mendukung langkah JOB PPEJ meningkatkan kapasitas lokal dan terus melakukan pembinaan.
“Mengingat produksi Migas sangat penting bagi kepentingan nasional,
maka harus ada saling percaya dan saling mendukung antara operator Migas
dengan masyarakat agar kegiatan operasi operator Migas lancar. Operator
Migas harus membantu dan percaya pada kemapuan masyarakat,” kata Noor
Nahar.
Sementara
itu, Bupati Bojonegoro berpesan agar pengusaha lokal jangan hanya
memburu fee atau jadi makelar dari pekerjaan yang didapat. Itu hanya
menyebabkan ekonomi biaya tinggi.
“Harus profesional, harus
berorientasi pada jangka panjang. Kalau hanya memburu fee, meski
sekarang dapat pekerjaan dan untung, tetapi dalam jangka panjang akan
bangkrut. Jadi orang kaya baru calon miskin,” kata Suyoto selaku Bupati
Bojonegoro.
Dijelaskan, Bojonegoro saat ini mulai memberikan
beasiswa agar anak-anak muda bisa bekerja sebagai tenaga profesional di
industri Migas lewat program Generasi Emas Bojonegoro.
“Saya
bermimpi nantinya anak-anak Bojonegoro bekerja di industri Migas hingga
ke Timur Tengah,” kata Bupati yang akrab disapa Kang Yoto ini.
Tekad
JOB PPEJ meningkatkan kapasitas mitra kerja lokal agar lebih
profesional juga mendapat apresiasi dari Guru Besar UI Rhenald Kasali.
Namun,
pemimpin Rumah Perubahan ini menilai, tawaran dan kesempatan dari JOB
PPEJ itu harus dimanfaatkan secara profesional oleh mitra kerja lokal.
Menurutnya,
mitra kerja lokal tidak boleh menggunakan prinsip ‘palugada’ atau ‘apa
yang lu minta gue ada’. Itu kuno. Untuk bisa tumbuh menjadi mitra kerja
yang tangguh, pengusaha lokal harus siap melakukan transformasi.
“Orientasi
pekerjaan harus jangka panjang dan harus berkolaborasi melawan
pemborosan. Gampangnya, jangan berorientasi pada keuntungan besar sesaat
dengan mengorbankan kualitas,” tegasnya.
Dicontohkannya, dulu
untuk mendapatkan pekerjaan lazimnya menggunakan pendekatan informal.
Misalnya dengan face to face, KKN, kenalan, pendekatan personal dan
sifatnya terbatas.
Sekarang, siapapun yang ingin mendapatkan
pekerjaan harus siap melakukan pendekatan formal karena memang zaman
virtual, harus taat prosedur dan transparan.
“Bagaimana kalau
perusahaan lokal kalah modal, ya harus berani bentuk konsorsium. Jangan
nggak punya modal, nggak punya teknologi dan tidak siap menanggung
risiko, tetapi nekad maju karena merasa paling punya hak. Pasti akan
kalah. Harus bentuk konsorsium,” jelasnya.
Menurutnya, keberadaan
Migas yang ada di Bojonegoro dan Tuban jangan sampai membuat masyarakat
terlena karena hal itu bisa membuat masyarakat terkena Penyakit Belanda.
Penyakit itu, lanjutnya, muncul saat Belanda mengekplorasi dan
mengekspoitasi minyak dan gas di negaranya.
“Saat itu muncul sifat
malas, semua orang merasa berhak atas keberadaan industri Migas itu.
Semua orang menumpang tanpa pernah berupaya meningkatkan kapasitas.
Akibatnya, Belanda yang tadinya maju berubah jadi miskin,” tegasnya.
Tragedi
yang dialami Indonesia pada masa bonanza Migas di zaman Ibnu Sutowo
juga harus menjadi pelajaran bagi Bojonegoro dan Tuban.
Saat itu,
hasil Pertamina hanya dipakai untuk menopang APBN dan beberapa proyek
prestisius. Pertamina tidak diberi kesempatan untuk mengembangkan diri.
“Di
pihak lain, Brasil menginvestasikan hasil industri Migasnya untuk
membiayai teknologi pengeboran laut dalam. Kini Brasil menjadi salah
satu negara yang menguasai teknologi laut dalam. Mereka hingga kini
memetik manfaat karena mau belajar dan bisa mengembangkan uangnya untuk
kegiatan yang produktif,” katanya.
Karena itu, Rhenald Kasali
berharap masyarakat Bojonegoro dan Tuban jangan menjadi masyarakat yang
mendapatkan pekerjaan dengan cara meminta-minta.
Masyarakat harus
didorong mendapatkan pekerjaan dari industri Migas karena kemampuan dan
kapasitas mereka. “Jangan sampai masyarakat kena penyakit Belanda.”
tegasnya.@dony